Aspek Kelayakan Pembentukan Kota

Istilah “kota” menurut Keban (1995) dapat diartikan sebagai daerah fungsional (daerah yang berdekatan yang bercirikan kepadatan penduduk, fungsi dan fasilitas ekonomi tertentu). Istilah tersebut dapat juga diartikan sebagai daerah administratif yang ditentukan sebagai kesatuan untuk tujuan administratif (yang biasanya bersifat kota dan sering meliputi subdaerah yang secara fungsional bersifat pedesaan).
Pendekatan geografis memandang kota sebagai tempat konsentrasi sejumlah penduduk, sekalipun sulit untuk menetapkan besarnya jumlah penduduk tersebut . Pendekatan ekonomi memandang kota sebagai titik pertemuan lalu lintas ekonomi, tempat berpusatnya perdagangan, industri dan kegiatan-kegiatan non agraris lainnya (Pamudji, 1985).
Dalam pengertian yang lain, seperti terungkap dalam musyawarah BKS-AKSI tahun 1969, kota didefinisikan sebagai kelompok orang-orang dalam jumlah tertentu hidup dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah geografis tertentu, berpola hubungan rasionil, ekonomis dan individualistis (ibid). Rumusan ini pada dasarnya merupakan perpaduan dari berbagai macam pendekatan terhadap kota termasuk pendekatan geografis dan ekonomis.
Djoko Sutarto (1989) memberikan batasan tentang kota ke dalam 6 kelompok:
1. Secara demografis merupakan pemusatan penduduk yang tinggi dengan tingkat kepadatan yang tinggi
2. Secara sosiologis selalu dikaitkan dengan batasan adanya sifat heterogen dari penduduknya serta budaya urban yang telah mengurangi budaya desa
3. Secara ekonomi suatu kota dicirikan proporsi lapangan pekerjaan yang dominan di sektor non pertanian
4. Secara fisik suatu kota dicirikan dengan adanya dominasi wilayah terbangun
5. Secara geografi kota merupakan pusat kegiatan yang dikaitkan dengan suatu lokasi strategis
6. Secara administratif pemerintah suatu kota dapat diartikan sebagai suatu wilayah wewenang yang dibatasi oleh suatu wilayah yurisdiksi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang pedoman penyusunan rencana kota, maka yang dimaksudkan dengan kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang di atur dalam peraturan perundang-undangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Sementara itu studi NUDS (National Urban Development Strategy, 1985) secara lebih tegas membagi tingkat kekotaan di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk sebagai berikut:
1. Kota metropolitan lebih dari 1 juta jiwa
2. Kota besar 500 ribu sampai 1 juta jiwa
3. Kota Menengah 100 ribu sampai 500 ribu jiwa
4. Kota kecil 25 ribu sampai 100 ribu jiwa
Sejalan dengan itu Buku Repelita VI yang mendasarkan pembagian kota pada jumlah penduduknya membedakan kota menjadi: a) kota metropolitan, berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa; b) kota besar, berpenduduk antara 500 ribu hingga 1 juta jiwa, c) kota sedang berpenduduk 100 ribu hingga 500 ribu jiwa; d) kota kecil berpenduduk antara 20 ribu hingga 100 ribu jiwa; e) kota desa, berpenduduk kurang dari 20 ribu jiwa. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak memakai istilah kota. Istilah yang dipakai adalah kawasan perkotaan seperti tertulis dalam Bab X Pasal 90:
“selain kawasan perkotaan yang berstatus Daerah Kota, perlu ditetapkan kawasan perkotaan yang terdiri atas: (1) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian daerah kabupaten, (2) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan, (3) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan”.

Sejalan dengan berbagai pengertian dan karakteristiknya, dapat dikatakan bahwa kota mempunyai ciri-ciri yang berlaku umum dan universal. Kota adalah tempat pemukiman yang permanen dengan tingkat kepadatan penduduknya yang mencolok, yang corak masyarakatnya heterogen dan yang lebih luas daripada sebuah keluarga atau klan (Suparlan,1991).
Pamudji (1985) mengukur tingkat kekotaan berdasarkan unsur fisik dan non fisik. Unsur fisik meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk, luas bulit up area, bangunan-bangunan permanen/semi, keadaan public utilities, potensi keuangan, peran dan fungsi kota dalam pembangunan dan pemerintahan, heterogenitas kegiatan, sifat hubungan sesama warga masyarakat.
Berdasarkan PP 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka suatu daerah otonom dapat dibentuk dengan memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria kemampuan ekonomi, diukur dengan menggunakan indikator, PDRB dan PADS. PDRB diukur dengan menggunakan PDRB perkapita, laju pertumbuhan ekonomi, kontribusi PDRB terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan PDS diukur dengan menggunakan rasio PDS terhadap pengeluaran rutin dan rasio PDS terhadap PDRB.
2. Kriteria potensi daerah, diukur dengan indikator rasio bank per 10.000 penduduk, rasio bukan bank per 10.000 penduduk, rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk, rasio pasar per 10.000 penduduk, rasio SD per penduduk usia SD, rasio SLTP per penduduk usia SLTP, rasio SLTA per penduduk usia SLTA, rasio penduduk usia perguruan tinggi per penduduk 19 tahun ke atas, rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk, rasio tenaga medis per 10.000 penduduk, rasio rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor roda 2, 3 dan 4 atau lebih, persentase pelanggan telepon terhadap jumlah rumah tangga, persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga, rasio kantor pos termasuk jasa-jasa per 10.000 penduduk, rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor, jumlah hotel/akomodasi lainnya, jumlah restoran/ rumah makan, jumlah obyek wisata, persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas, tingkat partisipasi angkatan kerja, persentase penduduk yang bekerja, rasio PNS terhadap penduduk.
3. Kriteria sosial budaya diukur dengan indikator rasio sarana peribadatan per penduduk, rasio tempat pertunjukan seni per 10.000 penduduk, rasio panti sosial per 10.000 penduduk, fasilitas lapangan olah raga per 10.000 penduduk.
4. Kriteria sosial politik diukur dengan indikator rasio penduduk yang ikut pemilu terhadap penduduk yang mempunyai hak pilih, jumlah organisasi masyarakat.
5. Kriteria jumlah penduduk
6. Kriteria luas daerah diukur dengan indikator luas daerah keseluruhan dan luas daerah terbangun.
7. Kriteria lain-lain diukur dengan indikator angka kriminalitas per 10.000 penduduk, rasio gedung terhadap kebutuhan minimal gedung pemerintahan, rasio lahan terhadap kebutuhan minimal untuk sarana dan prasarana pemerintahan, rata-rata jarak dan lama waktu perjalanan dari kecamatan ke pusat pemerintahan.

0 Response to "Aspek Kelayakan Pembentukan Kota"

Posting Komentar

Terima kasih atas Kunjungannya, semoga bermanfaat..!!

Histats

Follow Us