Akhir-akhir ini bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat sudah menjauhi perilaku etis, norma-norma kesusilaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat, pemimpin dan tokoh bangsa, aparat pemerintah, anggota DPR/MPR dan para penegak hukum, yang melakukan penjarahan milik orang lain, perusakan tempat-tempat ibadah, pencurian, korupsi, kolusi dan nepotisme yang secara alamiah ditentang oleh setiap individu.
Di dalam Ketetapan MPR tersebut disebutkan faktor-faktor dalam negeri yang mengakibatkan timbulnya tindakan-tindakan tersebut, yaitu karena: masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak harmonisnya pola interaksi antara umat beragama; sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di pusat dan pengabaian terhadap kepentingan daerah dan timbulnya fanatisme kedaerahan; tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa; terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika; kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah-tengah masyarakat; adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan nasional dalam merespons pengaruh negatif dari budaya luar; meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyeludupan obat-obat terlarang.
Sedangkan faktor luar negeri yang dapat mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut, antara lain, a) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dengan persaingan; b) makin kuatnya intensitas kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.
Berdasarkan faktor-faktor itu, MPR merumuskan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, yaitu a) etika sosial dan budaya; b) etika politik dan pemerintahan; c) etika ekonomi dan bisnis; d) etika penegakan hukum yang berkeadilan; e) etika keilmuan; f) etika lingkungan.
Pelaksanaan semua etika tersebut tergantung pada setiap individu, baik individu sebagai perorangan maupun individu sebagai lembaga (sebab lembaga-lembaga tersebut dijalankan oleh individu-individu yang diberi kebebasan, yaitu kebebasan yang terikat dengan norma-norma kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku), yaitu lembaga negara, eksekutif, judikatif dan legislatif, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.
Penegakan Hukum
Salah satu sarana penegakan etika kehidupan berbangsa adalah melalui penegakan hukum itu sendiri. Jika individu, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga negara atau perusahaan melakukan pelanggaran terhadap etika kehidupan berbangsa sebagaimana dirumuskan di dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001, maka pelanggaran terhadap etika kehidupan berbangsa harus diberi sanksi, sebagaimana sudah diatur dalam masing-masing undang-undang. Dapat dikatakan, penegakan hukum merupakan salah satu sarana paling ampuh untuk mengontrol pelaksanaan etika kehidupan berbangsa; ya memang, karena lembaga peradilanlah satu-satunya lembaga yang dapat melakukan tindakan atau memberi sanksi kepada setiap yang melanggar etika kehidupan berbangsa, baik itu pelanggaran di bidang ekonomi, politik, HAM dan melakukan tindakan kriminal lainnya.
Oleh karena itu lembaga peradilan itu harus independen, tidak dipengaruhi oleh pemerintah, DPR atau pihak lain dalam proses melakukan peradilan dan menjatuhkan suatu putusan. Lha, kalau begitu, apakah selama ini lembaga peradilan kita tidak diberi wewenang independensi dalam melakukan proses penegakan hukum? Secara juridis ya, tetapi secara faktual intervensi pihak lain masih ada dan bahkan ada yang dinamakan mafia peradilan.
Salah satu contohnya saja, Tommy Soeharto yang sudah diputus peradilan sebagai seorang tahanan, kok dia bisa bebas mengunjungi mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dan akhirnya dia melarikan diri dan menjadi buronan selama 1 tahun lebih. Dan masih banyak pelanggaran HAM yang belum diungkap dan diselesaikan. Pemerintah masih lemah dalam melindungi HAM, baik secara perorangan maupun kelompok.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya supaya hukum dapat ditegakkan dalam kaitan melaksanakan etika kehidupan berbangsa. Pengacara, Maqdir Ismail mengatakan, bahwa semua jaksa dan hakim serta penyidik (polisi) generasi Orde Baru harus diganti dengan sarjana hukum non-karier dari universitas. Pendapat Maqdir tersebut menunjukkan, bahwa betapa bobroknya penegakan hukum di Tanah Air.
Akhirnya pelaksanaan etika kehidupan berbangsa tergantung kepada setiap individu, karena setiap individu mempunyai agama, moral dan mengetahui baik dan buruk, salah dan benar, melanggar hukum atau tidak. Dan setiap individu mempunyai hati nurani untuk membedakan itu semua, jika toh setiap individu melanggar peraturan agama, norma-norma kesusilaan, peraturan perundang-undangan serta melakukan KKN dan pelanggaran tersebut tidak ditindaklanjuti melalui proses hukum dan kalaupun dilakukan proses hukum, tetapi dimanipulasi, maka individu tersebut akan menuai apa yang ditaburnya di dalam hidupnya. Di sini hukum tabur menuai akan berlaku, yang mana hal itu tidak akan dialami seketika itu, tetapi dikemudian hari, yang tidak saja dituai oleh orang yang bersangkutan tetapi oleh anak dan cucu-cucunya.
Pustaka.
-----------------------------
Di dalam Ketetapan MPR tersebut disebutkan faktor-faktor dalam negeri yang mengakibatkan timbulnya tindakan-tindakan tersebut, yaitu karena: masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak harmonisnya pola interaksi antara umat beragama; sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di pusat dan pengabaian terhadap kepentingan daerah dan timbulnya fanatisme kedaerahan; tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa; terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika; kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah-tengah masyarakat; adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan nasional dalam merespons pengaruh negatif dari budaya luar; meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyeludupan obat-obat terlarang.
Sedangkan faktor luar negeri yang dapat mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut, antara lain, a) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dengan persaingan; b) makin kuatnya intensitas kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.
Berdasarkan faktor-faktor itu, MPR merumuskan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, yaitu a) etika sosial dan budaya; b) etika politik dan pemerintahan; c) etika ekonomi dan bisnis; d) etika penegakan hukum yang berkeadilan; e) etika keilmuan; f) etika lingkungan.
Pelaksanaan semua etika tersebut tergantung pada setiap individu, baik individu sebagai perorangan maupun individu sebagai lembaga (sebab lembaga-lembaga tersebut dijalankan oleh individu-individu yang diberi kebebasan, yaitu kebebasan yang terikat dengan norma-norma kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku), yaitu lembaga negara, eksekutif, judikatif dan legislatif, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.
Penegakan Hukum
Salah satu sarana penegakan etika kehidupan berbangsa adalah melalui penegakan hukum itu sendiri. Jika individu, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga negara atau perusahaan melakukan pelanggaran terhadap etika kehidupan berbangsa sebagaimana dirumuskan di dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001, maka pelanggaran terhadap etika kehidupan berbangsa harus diberi sanksi, sebagaimana sudah diatur dalam masing-masing undang-undang. Dapat dikatakan, penegakan hukum merupakan salah satu sarana paling ampuh untuk mengontrol pelaksanaan etika kehidupan berbangsa; ya memang, karena lembaga peradilanlah satu-satunya lembaga yang dapat melakukan tindakan atau memberi sanksi kepada setiap yang melanggar etika kehidupan berbangsa, baik itu pelanggaran di bidang ekonomi, politik, HAM dan melakukan tindakan kriminal lainnya.
Oleh karena itu lembaga peradilan itu harus independen, tidak dipengaruhi oleh pemerintah, DPR atau pihak lain dalam proses melakukan peradilan dan menjatuhkan suatu putusan. Lha, kalau begitu, apakah selama ini lembaga peradilan kita tidak diberi wewenang independensi dalam melakukan proses penegakan hukum? Secara juridis ya, tetapi secara faktual intervensi pihak lain masih ada dan bahkan ada yang dinamakan mafia peradilan.
Salah satu contohnya saja, Tommy Soeharto yang sudah diputus peradilan sebagai seorang tahanan, kok dia bisa bebas mengunjungi mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dan akhirnya dia melarikan diri dan menjadi buronan selama 1 tahun lebih. Dan masih banyak pelanggaran HAM yang belum diungkap dan diselesaikan. Pemerintah masih lemah dalam melindungi HAM, baik secara perorangan maupun kelompok.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya supaya hukum dapat ditegakkan dalam kaitan melaksanakan etika kehidupan berbangsa. Pengacara, Maqdir Ismail mengatakan, bahwa semua jaksa dan hakim serta penyidik (polisi) generasi Orde Baru harus diganti dengan sarjana hukum non-karier dari universitas. Pendapat Maqdir tersebut menunjukkan, bahwa betapa bobroknya penegakan hukum di Tanah Air.
Akhirnya pelaksanaan etika kehidupan berbangsa tergantung kepada setiap individu, karena setiap individu mempunyai agama, moral dan mengetahui baik dan buruk, salah dan benar, melanggar hukum atau tidak. Dan setiap individu mempunyai hati nurani untuk membedakan itu semua, jika toh setiap individu melanggar peraturan agama, norma-norma kesusilaan, peraturan perundang-undangan serta melakukan KKN dan pelanggaran tersebut tidak ditindaklanjuti melalui proses hukum dan kalaupun dilakukan proses hukum, tetapi dimanipulasi, maka individu tersebut akan menuai apa yang ditaburnya di dalam hidupnya. Di sini hukum tabur menuai akan berlaku, yang mana hal itu tidak akan dialami seketika itu, tetapi dikemudian hari, yang tidak saja dituai oleh orang yang bersangkutan tetapi oleh anak dan cucu-cucunya.
-----------------------------
0 Response to "Etika Kehidupan Berbangsa di Indonesia "
Posting Komentar
Terima kasih atas Kunjungannya, semoga bermanfaat..!!