Sejarah, Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1960-1965)

Sejarah, Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1960-1965) | Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal mi diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno.

a. Konstituante Gagal Menyusun Undang Undang Dasar Baru
Hasil pemilihan umum memunculkan NU dan PKI sebagai partai besar di samping PNI dan Masyumi. Setelah pemilihan umum itu dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai-partai di dalam pariemen. Kabinet ini juga tidak lama bertahan, karena adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan di daerah.

Pada bulan Februari 1957, Presiden Soekamo memanggil semua pejabat sipil dan militer beserta semua pimpinan partai politik ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu untuk pertama kalinya Presiden Soekarno mengaju-kan konsepsi yang berisi antara lain sebagai berikut.
Dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang terdiri atas wakil-wakil semua partai ditambah dengan golongan fungsional.Dibentuk Dewan Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung). Anggota-anggotanya adalah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini adalah member! nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.

Konsepsi itu ditolak oleh beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI. Mereka berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal hams diserahkan kepada Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas. Dalam peringatan Sumpah Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekamo menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak partai politik, sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena itu, ada baiknya parta-partai politik dibubarkan.

Kemudian, dengan alasan menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi dengan nama Demokrasi Terpimpin. Konsepsi Presiden itu mendapat tantangan yang hebat. Untuk sementara waktu, masalah politik dan perdebatan Konsepsi Presiden menjadi beku, karena perhatian masyarakat diarahkan kepada upaya penumpasan pem-berontakan FRRI-Permesta. Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, masalah politik muncul kembali. Masalah menjadi sangat serius, karena konstituante mengalami kemacetan dalam menetapkan dasar negara. Kemacetan itu teriadi karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan atau mendahulukan kepentingan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi oleh konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Dalam upaya mengatasi kemacetan konstituante, muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan kembali ke UUD 1945, maka berbagai kekalutan politik dapat diselesaikan dengan dasar yang kokoh untuk diselesaikan, yaitu pemerintahan yang stabil, masalah dasar negara teratasi, semangat '45 dapat dipulihkan, sehingga persatuan dapat dipulihkan juga. Berbagai partai politik ada yang memberikan dukungan terhadap gagasan tersebut, kemudian Kabinet juga menerima gagasan kembali ke UUD 1945 pada tanggal 19 Februari 1959.

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konsdtusi Negara Republik Indonesia. Menanggapi anjuran pemerintah itu dan sesuai dengan aturan yang berlaku, konstituante dapat menentukan sikap atau melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara dilaksanakan riga kali dan hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara yang menolak kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua pertiga. Hal ini menjadi masalah, karena masih belum memenuhi quorum.Keadaan politik masih tetap tidak menentu. Kegagalan konstituante mengambil keputusan itu menunjukkan bahwa anggota dari partai-partai politik yang hadir masih tetap mengabdi kepada kepentingin partainya. Hal ini membukdkan bahwa selama tiga tahun konstituante ti-iak mampu mengambil keputusan untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950.

Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu keputusan, maka sebagian anggotanya menyatakan tidak akan menghadiri sidang konstituante lagi. Sementara itu sejak tanggal 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata merupakan resesnya yang terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat dengan peraturan Nomor : PRT/PEPERPU/040/1959 melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul supaya UUD 1945 diberlakukan kembali.                    

b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.       

Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah. mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedang-kan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem peme­rintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujud-kan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut: (1) Pembubaran Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS 1950, (3) Pembentukkan MPRS dan DPAS.

Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia. KSAD langsung mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI untuk mengamankan Dekrit Presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit itu. DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 juga menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja berdasarkan UUD 1945.

c. Pengaruh Dekrit Presiden

Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan menge­luarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari masalah-masalah berikut ini,

Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari tindakan presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan meng­angkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggotanya yang duduk di MPR.

Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Inti Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia).

Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu, DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti golongan nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. Dalam pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960 disebutkan tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-realisasikan Amanat Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan lembaga-lembaga negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959.

Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya. Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi sistem Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin dari Presiden Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).

Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut.

•  Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.

•  Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.

Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

d. Kehidupan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden adalah penataan kehidupan politik sesuai ketentuan-ketentuan demokrasi terpimpin. Selain dibentuk kabinet kerja, juga dibentuk lembaga-lembaga negara seperti MPRS, DPR-GR dan Front Nasional. Keanggotaan umum lembaga itu disusun berdasarkan komposisi gotong-royong sebagai perwujudan dari demokrasi terpimpin.

TNI dan POLRI disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya langsung berada di bawah Presiden /Panglima Tertinggi ABRI. Golongan ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional dan menjadi salah satu kekuatan sosial politik. Dengan demikian, ABRI dapat memainkan peranannya sebagai salah satu kekuatan sosial politik.

Berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, kehidupan partai politik ditata dengan menetapkan syarat-syarat yang hams dipenuhi oleh partai politik. Partai politik yang tidak memenuhi syarat dihapuskan, misalnya jumlah anggotanya terlalu sedikit. Dengan dikeluarkannya Penpres itu, partai politik yang masih dapat bertahan antara lain PNI, Partai Masyumi, Partai NU, PKI, Partai Katolik, Parkindo, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah lebih dikenal dengan tindakan penyederhanaan kepartaian. Sementara itu, sejumlah tokoh dari Partai Masyumi dan PSI terlibat dalam gerakan PRRI-Permesta, sehingga kedua partai ini dibubarkan oleh pemerintah.

Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik yang ada pada waktu itu adalah presiden dan ABRI serta partai-partai, terutama PKI. Presiden Soekamo dalam politiknya selalu berusaha untuk menjaga keseimbangan (balance of power) dalam tubuh ABRI dan juga antara ABRI dengan partai politik. Untuk menjaga keseimbangan itu, Presiden Soekarno memerlukan dukungan dari PKI. Namun, PKI hanya mengutamakan kepentingannya sendiri agar dapat memainkan perannya yang dominan di bidang politik. Dominasi PKI itu diperoleh dengan mendukung konsep Nasakom Presiden Soekarno.

Sementara itu, tuduhan terhadap PKI yang bersifat internasional (kurang nasional) dan anti agama dijawab bahwa PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang di dalamnya mencakup Pancasila. Ajakan Presiden Soekarno supaya jangan komunistophobi (takut terhadap komunis) sangat menguntung-kan PKI dan menjadikan PKI aman. PKI mendapat keuntungan dan perlindungan dari kebijakan politik Presiden Soekarno.

Dalam rangka mewujudkan sosialisme (dan kelak komunisme) di Indonesia, PKI menempuh tindakan-tindakan sebagai berikut.

a) Dalam Negeri; berusaha menyusup ke partai-partai politik atau organisasi massa (ormas) yang menjadi lawannya, kemudian memecah belah. Di bidang pendidikan mengusahakan agar marxisme-leninisme menjadi salah satu mata pelajaran wajib. Di bidang militer mencoba meng-indoktrinasi para perwira dengan ajaran komunis dan membina sel-sel di kalangan ABRI.

b) Luar Negeri; berusaha mengubah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif menjadi politik yang menjurus ke negara-negara komunis.

PKI dicurigai mempunyai keinginan untuk merebut kekuasaan pemerintahan. Kecurigaan ini berdasarkan pengalaman masa lalu, yaitu pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Pada tahun 1964, ditemukan dokumen yang memuat rencana PKI merebut kekuasaan. PKI menyatakan bahwa dokumen itu palsu. Berkat perlindungan Presiden Soekarno dan dominasi di bidang politik, tidak ada tindakan lebih lanjut atas tuduhan itu. D.N. Aidit (Ketua PKI) di hadapan peserta kursus Kader Revolusi menyatakan bahwa Pancasila hanya merupakan alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Pemyataan ini tidak mendapat tindakan dan peringatan dari Presiden Soekamo, sehingga PKI dapat melakukan intimidasi dan teror politik di segala bidang.    -

Pada bidang kebudayaan dan pers, PKI memengaruhi Presiden Soekarno untuk melarang Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Alasannya keduanya didukung dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Sebenarnya yang ditentang PKI bukan manifesto kebudayaan, tetapi terselenggaranya Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang berhasil membentuk organisasi pengarang dengan nama Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). PKI juga berhasil memengaruhi Antara (Kantor berita) dan RRI.

Di bidang kepartaian, PKI berhasil menfitnah Partai Murba, sehingga partai itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno. PKI juga mengadakan penyusupan ke partai-partai lain. PNI yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jenderal Surachman sebagai sekretaris jenderalnya disusupi PKI. Besarnya pengaruh PKI pada PNI (Ali - Surachman) menyebabkan marhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan di Indonesia. Tokoh-tokoh marhaenisme sejati seperti Osa Maliki dipecat dari keanggotaan partai. Golongan Osa Maliki membentuk pengurus tandingan, sehingga terbentuklah PNI Osa-Usep (Ketuanya Osa Maliki dan sekretaris jenderalnya Usep Ranuwijaya). Dengan demikian, PNI pecah menjadi dua.

Pada bidang agraria dan pertanian, PKI melalui ormasnya, Barisan Tani Indonesia (BTI) berhasil mengacaukan pelaksanaan landreform di beberapa tempat dan melakukan aksi sepihak dalam bentuk penyerobotan tanah, seperti di Klaten, Boyolali, Kediri (Peristiwa Jengkol), dan Sumatera Utara (Peristiwa Bandar Betsy). Aksi sepihak itu bertujuan untuk mengacaukan keadaan dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui reaksi dan tindakan yang akan dilakukan oleh pihak ABRI.

Dalam usaha memengaruhi ABRI, PKI mempergunakan jalur resmi dan jalur tidak resmi. Jalur resmi adalah Komisaris Politik Nasakom yang mendampingi Panglima atau Komandan Kesatuan. Sedangkan jalur tidak resmi adalah melalui Biro Khusus yang diketuai oleh Kamaruzaman (Syam). Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang terdiri atas PNI dan NU, PKI kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan ABRI. ABRI mampu menanggulangi pengaruh PKI, bahkan dapat menjadi penghalang bagi PKI dalam usahanya membentuk negara komunis. Oleh karena itu, pada peristiwa Gerakan 30 September, yang dijadikan sasaran PKI adalah ABRI, khususnya angkatan darat.

Republik Rakyat Cina (RRC) menyarankan agar Presiden Soekarno membentuk Angkatan Kelima untuk melengkapi empat angkatan yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk memperkuat kedudukan PKI. Presiden Soekarno tidak setuju dengan pembentukan angkatan kelima, dan dengan tegas ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat. Akhimya, PKI menganjurkan agar dibentuk Kabinet Nasakom. Namun, anjuran itu hanya membawa hasil sedikit, yaitu dengan diangkatnya beberapa tokoh PKI, seperti D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Nyoto menjadi Menteri Negara.









0 Response to "Sejarah, Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1960-1965)"

Posting Komentar

Terima kasih atas Kunjungannya, semoga bermanfaat..!!

Histats

Follow Us