Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pencemaran Lingkungan Hidup

Sanksi Terhadap Pelaku Pencemaran Lingkungan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengandung berbagai ketentuan aspek hukum, yakni Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Perdata dan Hukum Pidana, sehingga karenanya pemberian-pemberian sanksi terhadap pelaku pencemaran lingkungan itu dapat dilakukan melalui :

A. Instrumen Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negar dapat berbentuk sebagai berikut :

  1. Undang-Undang (UU)
  2. Peraturan Pemerintah (PP)
  3. Keputusan Menteri (Kepmen)
  4. Peraturan Daerah Propinsi (Peraturan Daerah Kabupaten/Kota)
  5. Keputusan Gubernur
  6. Keputusan Bupati/Walikota.

Hukum administrasi akan tampak berkaitan dengan pemerintah untuk memberikan perizinan pendirian usaha dan melakukan langka pengamanan lingkungan apabila ketentuan yang diisyaratkan dalam perijinan dilanggar. Ketentuan sanksi administrasi yang berkaitan dengan pelanggaran perizinan diatur dalam pasal 25 UUPLH yang berbunyi :

  1. Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulakan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau kegiatan kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
  2. Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat  II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
  3. Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada penjabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  4. Paksaan pemerintan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari penjabat yang berwenang.
  5. Tindakan penyelamatan, Penanggulanan dan/atau Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu”.

Kemudian dalam pasal 27 UUPLH, dijelaskan  bahwa :

  1. Pelanggaran tertentu dapat dijatuhkan sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
  2. Kepala Daerah dapat mengajukan usul dan mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada penjabat yang berwenang.
  3. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.

Selanjutnya untuk menjatuhkan suatu sanksi dapat dilakukan dari tingkat Menteri sampai penjabat di tingkat daerah, tergantung bobot dan pokok pelanggarannya. Hal ini untuk memperoleh ketentuan-ketentuan yang lebih jelas, yang kemudian dapat diterapkan bagi instansi-istansi yang terkait di dalamnya.

B. Instrumen Hukum Perdata
Ketentuan-ketentuan mengenai pemberian sanksi perdata ini diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,  yang berbunyi :

  1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkkungan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tidakan tertentu”.
  2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tertentu tersebut”.

Adapun yang bertanggunjawab untuk memberkan ganti rugi adalah penanggungjawab usaha selama pencemaran atau perusakan lingkungan hidup itu tidak disebabkan bencana alam atau peperangan, karena keadaan terapaksa di luar kemampuan manusia dan adanya tindakan pihak ketiga, hal itu sebagaimana ditegaskan dalam pasal 35 Undang-Undang Lingkungan Hidup yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
(2) Penanggunjawab dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa dan/atau perusakan ligkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini :
a. adanya bencana alam atau peprangan ; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia ; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggungjawab membayar ganti rugi”.

Dalam masalah penyelesaian ganti kerugian, hal ini diatur dalam Pasal 1243 dan Pasal 1365 KUHPerdata untuk menentukan siapa yang telah melakukan perbuatan hukum.
Isi dari Pasal 1243 KUHPerdata adalah :
“Pergantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak berpenghuninya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila pihak si terutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatan, tetapi melalaikanya, atau jika suatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”.

Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata berisi :
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salanya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal ini hukum lingkungan dengan melakukan kerugian bagi orang lain, maka orang tersebut harus memberikan ganti rugi terhadap pihak yang diinginkannya.

C. Instrumen Hukum Pidana
Asas-asas tindak pidana lingkungan hidup meliputi :
1. Asas Legalitas (Principle Legality)
Dalam asas tersebut kapasitas hukum dan kejelasan serta ketajaman dalam merumuskan peraturan hukum pidana.
2. Asas Pembangunan berkelanjutan (The Principle Of  Sustainable Development)
Asas ini menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat.
3. Asas Pencegahan (The Precautionary Principle)
Asas tersebut menegaskan apabila terjadi kerusakan, maka kekurangsempurnaan kepastian ilmiah hendaklah jangan dijadikan alasan untuk menunda Cost Effective measures dalam rangka terjadinya degradasi lingkungan hidup.
4. Asas Pengendalian (The Principle of Retraint)
Menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi administrasi, sanksi perdata, tidak tepat dan tidak efektif.

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan pidana, antara lain :
Pasal 41, yang menyatakan bahwa :
(1) Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tidak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan didenda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa :
(1) Barangsiapa yang karena kealfaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, menyatakan bahwa :
(1) Barangsiapa yang melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan dan membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau di dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran / perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam pidana paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat berlasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut padat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealfaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 43, diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, berarti terhadap pelaku pelanggaran terhadap peraturan hukum lingkungan dapat dikenakan sanksi pidana berupa sebagai berikut :
1. Sanksi Administratif, Pasal 25 dan 27 UUPLH
2. Sanksi Perdata, Pasal 34 dan 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
3. Sanksi Pidana, Pasal 41, 42, 43 dan 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.


0 Response to "Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pencemaran Lingkungan Hidup"

Posting Komentar

Terima kasih atas Kunjungannya, semoga bermanfaat..!!

Histats

Follow Us