Sistem pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik telah menyebabkan melemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas secara otonom. Strategi pelaksanaan pembangunan yang tidak terdesentralisasi telah menyebabkan kegiatan pelayanan masyarakat menjadi tidak responsif dan ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi antar daerah.
Pada bagian lain, pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini yang lebih menekankan pada pendekatan sektoral dan cenderung terpusat menyebabkan pemerintah daerah kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat secara optimal. Kapasitas pemerintah daerah yang tidak optimal disebabkan oleh kuatnya kendali pemerintah pusat dalam proses pengambilan keputusan melalui berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang sangat rinci dan kaku. Hal tersebut diperparah oleh adanya keengganan beberapa instansi pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan, penyerahan tugas dan fungsi pelayanan, pengaturan perizinan dan pengelolaan sumber daya keuangan kepada pemerintah daerah. Kuatnya kendali pemerintah pusat yang semakin tinggi terhadap pemerintah daerah pada waktu yang lalu telah menyebabkan hilangnya pula motivasi, inovasi dan kreativitas aparat daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Pemerintah kemudian menyadari bahwa kebijakan pembangunan yang terlalu sentralistik mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itu maka salah satu amanat GBHN 1999-2004 menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan diarahkan untuk:
“(1) mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga otonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI, (2) melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi propinsi, kabupaten/kota dan desa, (3) mewujudkan perimbangan keuangan pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi dan (4) memberdayakan DPRD dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya guna penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab”.
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan yang perlu diupayakan dalam mengembangkan otonomi daerah adalah :
(1) Program peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajemen aparat pemerintah daerah. (2) Program peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang menyangkut mekanisme kerja, struktur organisasi dan peraturan perundang-undangan yang memadai guna menjamin pelaksanaan otonomi daerah. (3) Program penataan pengelolaan keuangan daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah secara profesional, efisien, transparan dan bertanggung jawab. (4) Program penguatan lembaga Non Pemerintah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterlibatan lembaga-lembaga non pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan, perencanaan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Lembaga-lembaga non pemerintah dimaksud adalah DPRD, badan perwakilan desa, lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat lainnya”.
Kebijakan pembentukan daerah Kota Tomohon merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan otonomi daerah. Oleh karena itu maka dalam rangka perencanaan pembangunan daerah di Indonesia, terdapat beberapa hal yang ingin dicapai (Rasyid, 1998):
“pertama, menyebaratakan pembangunan sehingga dapat dihindarkan adanya pemusatan kegiatan pembangunan yang berlebihan di daerah tertentu, kedua, menjamin keserasian dan koordinasi antara berbagai kegiatan pembangunan yang ada di tiap-tiap daerah, ketiga, memberikan pengarahan kegiatan pembangunan, bukan saja pada aparatur pemerintah, tetapi juga kepada masyarakat.
Kebijakan pembentukan daerah Kota Tomohon sebagai daerah otonom akan mencakup suatu wilayah hukum tertentu. Wilayah dalam tata pemerintahan Indonesia artinya lingkungan kerja pemerintahan umum (Rasyid, 1998). Secara administratif, lingkungan kerja pemerintahan berkaitan dengan batas-batas wilayah hukum suatu daerah atau juga disebut sebagai rumah tangga daerah. Dalam rangka pembentukan daerah baru, pemberian status pada wilayah tertentu mengandung makna sebagai adanya daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang bisa merupakan pemekaran dari daerah induk.
Secara teoritis, untuk menjalankan fungsinya secara optimal, sedikitnya ada tujuh elemen utama yang membentuk suatu pemerintah daerah otonom (Suwandi, 2002), yaitu:
1. Adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah.
3. Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan.
4. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.
5. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6. Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomi dan akuntabel.
7. Adanya pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan efisien.
Menurut Sumodiningrat (1999), berkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah maka perlu untuk memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut, yakni (1) kemantapan lembaga, (2) ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, khususnya aparat pemerintah daerah, (3) potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri.
Gagasan pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonom baru memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Secara yuridis landasan yang memuat persoalan pembentukan daerah terdapat dalam pasal 18 UUD 1945 yang intinya, bahwa membagi daerah Indonesia atas daerah besar (propinsi) dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi peluang pembentukan daerah dalam suatu NKRI seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 yaitu daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Pasal 6 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa: (1) daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain dan sesuai dengan perkembangan daerah, (2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah.
Sementara itu, tujuan pemekaran daerah pada pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah dinyatakan bahwa :
“tujuan dari pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah”.
Adapun syarat-syarat pembentukan daerah disebutkan dalam pasal 3 sampai pasal 10 meliputi :
“kemampuan ekonomi (PDRB dan PAD), potensi daerah (lembaga keuangan, sarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, pariwisata dan ketenagakerjaan), sosial budaya (tempat ibadah, tempat atau kegiatan institusi sosial dan budaya serta sarana olah raga), sosial politik (partisipasi masyarakat dan organisasi kemasyarakatan), jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, propinsi yang akan dibentuk minimal terdiri dari 3 kabupaten atau kota”.
Sementara itu, prosedur pembentukan daerah menurut pasal 16 dapat dijelaskan sebagai berikut:
“ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan, adanya studi awal oleh pemda, adanya usul pembentukan daerah yang disahkan melalui keputusan DPRD dan diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, kemudian Menteri menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, selanjutnya diusulkan kepada Presiden dan jika disetujui maka Rancangan Undang-undang dapat disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan.
Pada bagian lain, pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini yang lebih menekankan pada pendekatan sektoral dan cenderung terpusat menyebabkan pemerintah daerah kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat secara optimal. Kapasitas pemerintah daerah yang tidak optimal disebabkan oleh kuatnya kendali pemerintah pusat dalam proses pengambilan keputusan melalui berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang sangat rinci dan kaku. Hal tersebut diperparah oleh adanya keengganan beberapa instansi pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan, penyerahan tugas dan fungsi pelayanan, pengaturan perizinan dan pengelolaan sumber daya keuangan kepada pemerintah daerah. Kuatnya kendali pemerintah pusat yang semakin tinggi terhadap pemerintah daerah pada waktu yang lalu telah menyebabkan hilangnya pula motivasi, inovasi dan kreativitas aparat daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Pemerintah kemudian menyadari bahwa kebijakan pembangunan yang terlalu sentralistik mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itu maka salah satu amanat GBHN 1999-2004 menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan diarahkan untuk:
“(1) mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga otonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI, (2) melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi propinsi, kabupaten/kota dan desa, (3) mewujudkan perimbangan keuangan pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi dan (4) memberdayakan DPRD dalam rangka melaksanakan fungsi dan peranannya guna penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab”.
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan yang perlu diupayakan dalam mengembangkan otonomi daerah adalah :
(1) Program peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajemen aparat pemerintah daerah. (2) Program peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang menyangkut mekanisme kerja, struktur organisasi dan peraturan perundang-undangan yang memadai guna menjamin pelaksanaan otonomi daerah. (3) Program penataan pengelolaan keuangan daerah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah secara profesional, efisien, transparan dan bertanggung jawab. (4) Program penguatan lembaga Non Pemerintah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterlibatan lembaga-lembaga non pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan, perencanaan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Lembaga-lembaga non pemerintah dimaksud adalah DPRD, badan perwakilan desa, lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat lainnya”.
Kebijakan pembentukan daerah Kota Tomohon merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan otonomi daerah. Oleh karena itu maka dalam rangka perencanaan pembangunan daerah di Indonesia, terdapat beberapa hal yang ingin dicapai (Rasyid, 1998):
“pertama, menyebaratakan pembangunan sehingga dapat dihindarkan adanya pemusatan kegiatan pembangunan yang berlebihan di daerah tertentu, kedua, menjamin keserasian dan koordinasi antara berbagai kegiatan pembangunan yang ada di tiap-tiap daerah, ketiga, memberikan pengarahan kegiatan pembangunan, bukan saja pada aparatur pemerintah, tetapi juga kepada masyarakat.
Kebijakan pembentukan daerah Kota Tomohon sebagai daerah otonom akan mencakup suatu wilayah hukum tertentu. Wilayah dalam tata pemerintahan Indonesia artinya lingkungan kerja pemerintahan umum (Rasyid, 1998). Secara administratif, lingkungan kerja pemerintahan berkaitan dengan batas-batas wilayah hukum suatu daerah atau juga disebut sebagai rumah tangga daerah. Dalam rangka pembentukan daerah baru, pemberian status pada wilayah tertentu mengandung makna sebagai adanya daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang bisa merupakan pemekaran dari daerah induk.
Secara teoritis, untuk menjalankan fungsinya secara optimal, sedikitnya ada tujuh elemen utama yang membentuk suatu pemerintah daerah otonom (Suwandi, 2002), yaitu:
1. Adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah.
3. Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan.
4. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.
5. Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6. Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomi dan akuntabel.
7. Adanya pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi yang efektif dan efisien.
Menurut Sumodiningrat (1999), berkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah maka perlu untuk memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut, yakni (1) kemantapan lembaga, (2) ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, khususnya aparat pemerintah daerah, (3) potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri.
Gagasan pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonom baru memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Secara yuridis landasan yang memuat persoalan pembentukan daerah terdapat dalam pasal 18 UUD 1945 yang intinya, bahwa membagi daerah Indonesia atas daerah besar (propinsi) dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi peluang pembentukan daerah dalam suatu NKRI seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat 1 yaitu daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Pasal 6 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa: (1) daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain dan sesuai dengan perkembangan daerah, (2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah.
Sementara itu, tujuan pemekaran daerah pada pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah dinyatakan bahwa :
“tujuan dari pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah”.
Adapun syarat-syarat pembentukan daerah disebutkan dalam pasal 3 sampai pasal 10 meliputi :
“kemampuan ekonomi (PDRB dan PAD), potensi daerah (lembaga keuangan, sarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, pariwisata dan ketenagakerjaan), sosial budaya (tempat ibadah, tempat atau kegiatan institusi sosial dan budaya serta sarana olah raga), sosial politik (partisipasi masyarakat dan organisasi kemasyarakatan), jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana pemerintahan, rentang kendali, propinsi yang akan dibentuk minimal terdiri dari 3 kabupaten atau kota”.
Sementara itu, prosedur pembentukan daerah menurut pasal 16 dapat dijelaskan sebagai berikut:
“ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan, adanya studi awal oleh pemda, adanya usul pembentukan daerah yang disahkan melalui keputusan DPRD dan diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, kemudian Menteri menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, selanjutnya diusulkan kepada Presiden dan jika disetujui maka Rancangan Undang-undang dapat disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan.
0 Response to "Kebijakan Pembentukan Daerah"
Posting Komentar
Terima kasih atas Kunjungannya, semoga bermanfaat..!!